DARI ZUHUD KE TASAWUF
A. PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu aspek
(esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya
komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf
sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai
ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman
lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal
istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada
pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan
meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya
aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud
timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang zuhud dilihat dari sisi sejarah mulai
dari pertumbuhannya sampai dengan peralihannya ke tasawuf.
B. ZUHUD
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf.
Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia
dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu
menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi
sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid,
tetapi sebaliknya tidak setiap zahid
merupakan sufi[1][1].
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap
sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi
al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[2][2].
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof.
Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud
sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[3][3]. Apabila tasawuf diartikan adanya
kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan”
atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam
posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap
hal – hal yang bersifat duniawi atau ma
siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan
diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya
dengan semedi (khalwat), berkelana,
puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[4][4]. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri
dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan
berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh
agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya
tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat
Allah swt.
Kedua, zuhud
sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang
seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia
dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan
tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat –
sifat mazmumah (tercela). Keadaan
seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5][5].
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada
ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari
tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud
itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan
hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap
kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan
duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka
mengingkari Tuhannya[6][6]. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan
bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan
kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman
ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh
dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam
menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang
berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan
kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan”[7][7]. “Dan
carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”[8][8]. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan
hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok
hari”[9][9]
C. FAKTOR – FAKTOR ZUHUD
Zuhud merupakan salah satu maqam
yang sangat penting dalamtasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama
tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud
dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun
dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,
al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud
dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd,
al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan
al-ma’rifah[10][10]. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud,
al-tawakkul dan al-ridla[11][11].
Jalan yang harus dilalui
seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu
sulit,dan untuk pindah dari maqam
satu ke maqam yang lain menghendaki
usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon
sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.
Para peneliti baik dari
kalangan orientalis maupun Islam sendiri
saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor
utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya
berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir[12][12].
Harun Nasution mencatat
ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud.
Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua,
dipengaruhi oleh Phytagoras yang
megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran
meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga,
dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian
roh yangtelah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan
dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa
untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan
dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan
Brahman[13][13]
Sementara itu Abu al’ala
Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau
dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi
oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai
sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat,
berasal dari ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci
lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana
terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini
mendorong untukhidup wara’[14][14], taqwa dan zuhud.
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin
terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu
ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang tentu membawa
konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya
kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam
yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang
bermula dari al-fitnah al-kubraI yang
menimpa khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena
sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak
inginterlibat dalamkemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap
pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam
pertikaian tersebut.
Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmukalam,
sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut
at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi
terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam,
seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara
sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II
Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam
madzhab, sementara zuhud dan
gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam[15][15].
Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara
praktek zuhud dengan berbagai ajaran
filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat
maupun agama itu, zuhud tetap ada
dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada
merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi
motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa
api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).
D. PERALIHAN DARI ZUHUD KE TASAWUF
Benih – benih tasawuf
sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku
dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum
diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada
bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan
acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.
Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang
berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang
meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan
kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad
sesudahnya.
Setelah periode sahabat
berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa
itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik
–konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan
sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai
dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani
Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani
Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki,
khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman,
terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling
gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa
terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu
ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu.
Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok
penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan
memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut
kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum
Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi
kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh
Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H[16][16].
Disamping gejolak politik
yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini mempunyai
pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada
masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam
keadaan sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai
meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi
Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW
serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja
Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M),
dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang
pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban
menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud,
sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para
penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam
kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar
diterapkan keadilan sosial dalam Islam.
Dari perubahan –perubahan
kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada
kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan
diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak : zuhhad)
atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau
ubbad) atau nasik (jamak : nussak)[17][17]
Zuhud yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri
atas berbagai aliran yaitu :
1.
Aliran Madinah
Sejak
masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid.Mereka
kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan
Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya.
Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.),
Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn
Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan
tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn
Abdullah (w. 106 H.).
Aliran
Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran
ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada
masa dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat
tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud
aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.
2.
Aliran Bashrah
Louis
Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf,
dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa
pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di
Kufah. Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal
dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya
kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis
dalam nahwu, hal – hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka
adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran
mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl
al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn
Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di Abadan[18][18].
Corak
yang menonjol dari para zahid Bashrah
ialah zuhud dan rasa takut yang
berlebih –lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama –tama
muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah
para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan
al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan
lain –lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain”[19][19].Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi
karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.
3.
Aliran Kufah
Aliran
Kufah menurutLouis Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis,
menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah dalam
hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan
ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.
Para
tokoh zahid Kufah pada abad pertama
Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan
Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan
al-Tsauri (w. 161 H.)
4.
Aliran Mesir
Pada
abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para
orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran
Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak
penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan
itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan
Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh
– tokoh zahid Mesir pada abad pertama
Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya,
al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan
Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan
membaca al-Qur’an serta shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang
disebut dalam firmanAllah :”Mereka
sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah
menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh
lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung
Mesir tahun 69 H.
Sementara
tokoh zahid yang paling menonjol pada
abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut
ibn Khallikan, dia seorang zahid yang
hartawan dan dermawan, dll[20][20]
Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik
dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I
dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud
pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Pertama : Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal –
hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka.
Ide ini berakar dari ajaran –ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial
politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
Kedua : Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat
menyusun prinsip – prinsip teoritis zuhud.
Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.
Ketiga : Motivasi zuhud ini ialah
rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara
sungguh –sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah
al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut
terhadap adzab-Nya.
Keempat : Menjelang
akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada
Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang
sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga
dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling
dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.
Suatu kenyataan sejarah
bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad
III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di
belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep
tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi
berupa kezuhudan, maka pada abad
ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan
(ittihad fi mahbub), bertemu dengan
Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan
Tuhan (‘ain al jama’)[21][21]. Sejak itulah muncul karya –karya
tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.),
al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu
abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.
E. KESIMPULAN
· Zuhud adalah fase yang mendahului
tasawuf.
· Munculnya aliran –aliran zuhud pada
abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta
pembesar – pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah
Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan
Persia .
Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para
sahabat.
· Pada akhir abad ke II Hijriyyah
peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah
mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang
kesufian. Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan
dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini
adalah orang – orang zuhud. Oleh
sebab itu menurut at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Pengantar
Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa,
al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf
al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah , 1979.
________________, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad
Rofi Utsman, Bandung ,
Pustaka, 1997.
Al-Tusi, al-Luma’, Mesir,dar al-Kutub al-Hadisah,1960
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta , PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu
al-Misriyyah,1954
Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia , PP. al-Munawwir,Yogyakarta ,
1984
Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta , Bulan
Bintang,1995
Nicholson, A. Reynold,The Mistic of Islam, terj. BA, Jakarta , Bumi Aksara,1998
Syukur, Amin,Prof. Dr. , Menggugat Tasawuf,Yogyakarta ,Pustaka
Pelajar, 2002
_________________, Zuhud di Abad Modern,Yogyakarta ,
Pustaka Pelajar,2000
Taimiyah, ibn, al-Shuffiyyah wa al-Fuqoro’, kairo, Mathba’ah al-Manar,1348 H.
[1][1] Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang), 1995, hlm. 64
[2][2] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia, PP.
Al-Munawiwir, Yogyakarta, 1984, hlm. 626.
[3][3] Prof. Dr. Amin Syukur MA, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar), 2000, hlm. 1
[4][4] Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954,
hlm. 42. Lihat juga Prof. D. Amin Syuku MA, Zuhud…,
op.cit, hlm. 2
[5][5] Ibid.,
hlm. 3
[6][6] Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung :
Pustaka), 1977, hlm. 54
[7][7] QS. Al-Baqarah, 2:143
[8][8] QS. Al-Qashash, 28:77
[9][9] Lihat al-Taftazani, Sufi …, op.cit., hlm. 55
[10][10] Al-Tusi, Al-Luma’,(Mesir : Dar al-Kutub al-Hadisah), 1960, hlm. 65
[11][11] Lihat Harun Nasution,falsafat …,op.cit., hlm. 62-63
[12][12] Dr. Abu al-wafa al-Ghanimi al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 56-57
[13][13] Ibid.,
hlm. 58-59; lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA,Zuhud…,op.cit.,hlm. 4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, (Jakarta : Bumi
Aksara),1998,hlm. 8-21
[14][14] Istilah wara’ sering dipakai dalam dunia tasawuf, arti dari istilahtersebut
adalah sikap menjaga diri dan membentenginya dari hal-hal yang tidak jelas
hukumnya, atau dengan kata lain menjaga diri daribarang yang syubhat.
[15][15] Prof.Dr.Amin Syukur MA, Zuhud…,op.cit., hlm. 5-6;lihat juga
al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 58
dan 250
[16][16] Dewan Redaksi EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar
Baru Van Joeve), 1993, hlm.80- 81
[17][17] Ibid.,
hlm. 82
[18][18] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy,
(Qahirah al-Tsaqafah),1979,hlm. 72 - 75
[19][19] Ibn Taimiyyah,al-Shuffiyyah wa al-Fuqara’, (Kairo : Mathba’ah al-Manar), 1348
H.,hlm. 3-4
[20][20] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi…,op.cit., hlm. 68-80
[21][21] Abu BakarAceh,Pengantar Sejarah Sufi dan tasawuf, (Solo : Ramadlani), 1984,hlm.57
0 comments:
Posting Komentar