Nama lain dari Syaikhul Akbar, yaitu Khatamul Auliya
Imam at-Tairmidzy al-Hakim, seorang filosuf agung dan Sufi terbesar di
zamannya pernah menulis tentang Khatamul Auliya’ (Pamungkas para wali), sebagai
konsep mengembangkan pamungkas para Nabi (Khatimul Anbiya’).
Ibnu Araby dalam kitabnya yang paling komprehensif sepanjang zaman,
Al-Futuhatul Makiyyah. Disanalah Ibnu Araby menjawab 155 pertanyaan dalam
Khatamul Auliya’-nya At-Tirmidy. Dalam pertanyaan pertama berbunyi :
Berapakah Manazil (tempat pijakan ruhani) para Auliya’?
Ibnu Araby menjawab: Ketahuilah bahwa manazil Auliya’ ada dua macam. Pertama bersifat Inderawi (hissiyah) dan kedua bersifat Maknawy. Posisi pijakan ruhani (manzilah) yang bersifat inderawi, adalah syurga, walau pun di syurga itu ada seratus jumlah derajatnya. Sedangkan
manzilah mereka di dunia yang bersifat
inderawi adalah ahwal mereka yang seringkali melahirkan sesuatu yang luar
biasa. Diantara mereka ada ditampakkan oleh Allah seperti Wali-wali Abdal dan
sejenisnya. Ada juga yang tidak ditampakkan seperti kalangan Wali Malamatiyah
serta para kaum ‘Arifin yang agung, jumlah pijakan mereka lebih dari 100 tempat
pijakan ruhani. Setiap masing-masing tempat itu berkembang menjadi sekian
tempat yang begitu banyak. Demikian pijakan ruhani mereka yang bersifat
inderawi di dua alam (dunia dan akhirat).
Sedangkan yang bersifat Maknawy dalam dimensi-dimensi kema’rifatan, maka
manzilah mereka 248 ribu tempat pijakan ruhani hakiki yang tidak dapat diraih
oleh ummat-ummat sebelum Nabi kita Muhammad SAW, dengan rasa ruhani yang berbeda-beda,
dan masing-masing rasa ruhani memiliki rasa yang spesial yang hanya diketahui
oleh yang merasakan.
Jumlah tersebut tersari dalam empat maqamat: 1) Maqam Ilmu Ladunny, 2) Maqam Ilmu Nur, 3) Maqam Ilmu al-Jam’u dan at-Tafriqat, 4) Maqam Ilmu Al-Kitabah al-Ilahiyyah. Diantara Maqamat itu adalah maqam-amaqam Auliya’ yang terbagi dalam 100 ribu lebih maqam Auliya, dan masing-masing masih bercabang banyak, yang bisa dihitung, namun bukan pada tempatnya mengurai di sini.
Mengenai Ilmu Ladunny berhubungan dengan nunasa-nuansa Ilahiyah dan
sejumlah serapannya berupa Rahmat khusus. Sedangkan Ilmu Nur, tampak
kekuatannya pada cakrawala ruhani paling luhur, ribuan Tahun Ilahiyah sebelum
lahirnya Adam as. Sementara Ilmu Jam’ dan Tafriqah adalah Lautan Ilahiyah yang
meliputi secara universal, dimana Lauhul Mahfudz sebagai abian dari Lautan itu.
Dari situ pula melahirkan Akal Awal, dan seluruh cakrawala tertinggi mencerap
darinya. Dan sekali lagi, para Auliya selain ummat ini tidak bisa mencerapnya.
Namun diantara para Auliya’ ada yang mampu meraih secara keseluruhan ragam itu,
seperti Abu Yazid al-Bisthamy, dan Sahl bin Abdullah, serta ada pula yang hanya
meraih sebagian. Para Auliya’ di kalangan ummat ini dari perspektif pengetahuan
ini ada hembusan ruh dalam lorong jiwanya, dan tak ada yang sempurna kecuali
dari Auliya’ ummat ini sebagai pemuliaan dan pertolongan Allah kepada mereka,
karena kedudukan agung Nabi mereka Sayyidina Muhammad SAW.
Di dalam pengetahuan tersebut tersembunyi rahasia-rahasia ilmu pengetahuan
yang sesungguhnya berada dalam tiga pijakan dasar ruhani pengetahuan:
1) Pengetahuan yang berhubungan dengan Ilahiyyah,
2) Pengetahuan yang berhubungan dengan ruh-ruh yang luhur, dan
3) Pengetahuan yang berhubungan dengan maujud-maujud semesta.
Yang berhubungan dengan ilmu ruh-ruh yang luhur menjadi beragam tanpa adanya kemustahilan kontradiktif. Sedangkan yang berhubungan dengan maujud alam beragam, dan memiliki kemustahilan dengan kontradiksi kemustahilannya.
Jika pengetahuan terbagi dalam tiga dasar utama itu, maka para Auliya’ juga terbagi dalam tiga lapisan: Lapisan Tengah (Ath-Thabaqatul Wustha), memiliki 123 ribu pijakan ruhani, dan 87 manzilah utama, yang menjadi sumber serapan dari masing-masing manzilah yang tidak bisa dibatasi, karena terjadinya interaksi satu sama lainnya, dan tidak ada yang meraih manfaatnya kecuali dengan Rasa Khusus. Sementara lapisan yang sisanya, (dua lapisan) muncul dengan pakaian kebesaran dan sarung keagungan. Hanya saja keduanya yang menggunakan sarung keagungan itu memiliki mazilah lebih dari 123 ribu itu. Sebab pakaian kebesaran merupakan penampakan dari AsmaNya Yang Maha Dzahir, sedangkan sarungnya adalah penampakan dari AsmaNya Yang Maha Batin. Yang Dzahir adalah asal tonggaknya, dan Yang Batin adalah karakter baru, dimana dengan kebaruannya muncullah pijakan-pijakan ruhani (manazil) ini.
Cabang senantiasa menjadi tempatnya buah. Maka apa yang ditemukan pada cabang itu merupakan sesuatu yang tidak ditemukan dalam tonggaknya, yaitu buah. Walaupun dua cabang di atas itu munculnya dari satu tonggak utamanya yaitu AsdmaNya Yang Maha Dzahir, tetapi hukumnya berbeda. Ma’rifat kita kepada Tuhan, muncul setelah kita mengenal diri kita, sebab itu “Siapa yang kenal dirinya, kenal Tuhannya”. Walaupun wujud diri kita sesungguhnya merupakan cabang dari dari Wujug Rabb. Wujud Rabb adalah tonggal asal, dan wujud hamba adalah cabang belaka. Dalam Martabat bisa akan mendahului, sehingga bagiNya ada Nama Al-Awwal, dan dalam suatu martabat diakhirkan, sehingga ada Nama Yang Maha Akhir. Disatu sisi dihukumi sebagai Asal karena nisbat khusus, dan dilain sisi disehukumi sebagai Cabang karena nisbat yang lain. Inilah yang bisa dinalar oleh analisa akal. Sedangkan yang dirasakan oleh limpahan Ma’rifat Rasa, maka Dia adalah Dzahir dari segi bahwa Dia adalah Batin, dan Dia adalah Batin dari segi kenyataanNya Yang Dzahir, dan Awwal dari kenyataanNya adalah Akhir, demikian pula dalam Akhir.
Sedangkan jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah itu, ada356 sosok, yang mereka itu adala dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian.
Sedangkan menurut thariqat kami dan yang muncul dari mukasyafah, maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah kami sebut diatas di awal bab ini, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada 1 orang, yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammady, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammady pada zaman ini (zaman Ibnu Araby, red), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), SAYA TAHU IA ADA DI FES (MAROKKO) TAHUN 595 H.
Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya’, yaitu para Wali : Ummahat, Aqthab; A’immah; Autad; Abdal; Nuqaba’; dan Nujaba’.
Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya’ sebagaimana gelar yang disandang Khatamun Nubuwwah oleh Nabi Muhammad SAW.? Ibnu Araby menjawab:
Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah
menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Isa
Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era
ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana
tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah
Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai Penutup
Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah
itu masih turun seperti Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul
dan Nabi mulia. Maka turunnya Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya,
tertapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad SAW, bergabung dengan para
Wali dari ummat Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.
Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam, AS.Dan akhirnya
juga ada Nabi, yaitu Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Isa
kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar
bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.
Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (era Ibnu Araby) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal ditahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Khatamul Wilayah darinya. Dia adalah Khatamun Nubuwwah Mutlak, yang tidak diketahui banyak orang. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirrnya.
Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammady, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya'’Muhammady , dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad SAW. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.
Wallahu A’lam bish-Shawab.
Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana.
Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga
tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang
seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh
kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan,
padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.
Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati
kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang
itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki
kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam
luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata
pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:
“Segala puji bagi Allah yang telah meluapi
lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang
membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa
menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah
melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga.
Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan
arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan
berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan
tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”
Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”
Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”
Kalau saja kita ingin mengenal
gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk
menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya
adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya
yang dikehendaki-Nya.
Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.
Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.
Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka
terpencar di muka bumi sebagai “tanda-tanda” Ilahiyah, dengan jumlah tertentu,
dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang ditampakkan karamahnya, ada
pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang
diberi kehebatan luar biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum
tentu juga yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat
Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk
Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.
Di masyarakat kita, seringkali terjebak
oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang.
Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah.
Padahal kata seorang syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang bisa terbang,
bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang
berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah
sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.“
Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah
tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di
luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu
Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena
usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.
Karamah sendiri bukanlah syarat dari
kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata hanyalah
sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan
syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah
hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh ada yang
mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak
mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan
ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.
Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada
yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut
Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang.
Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap
seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi
jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.
Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak
ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan
psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.
Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi, semoga Allah
meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful
Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Waliyullah itu diliputi oleh ilmu
dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh
mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang
dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa
yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan
kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan
indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”
“Dasar utama perkara Wali itu,” kata Abul
Abbas, “adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan
pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa
bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3).
“Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36). “Bukankah ia
tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14). “Apakah kamu
tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala
sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Syekh Agung Abdul Halim Mahmud dalam
memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas
panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena,
as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang,
buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar
sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan
muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi.
Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi
rujukan utama dunia Kewalian adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya para
Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang
yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam
kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi
Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS.
Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”
Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi
besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga
saat ini, Khatamul Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156
pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan
mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.
0 comments:
Posting Komentar